This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, January 6, 2012

G A M E L A N



Gamelan adalah musik yang tercipta dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik yang lembut dan mencerminkan keselarasan hidup orang Jawa akan segera menyapa dan menenangkan jiwa begitu didengar.

Gamelan Okresta Ala Jawa 
 

Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.

Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.


Proses pembuatan gamelan

Gamelan digunakan sebagai bunyi-bunyian pengiring dalam pagelaran wayang kulit atau wayang orang. Gamelan digunakan sebagai kesenian rakyat maupun istana. Dalam gamelan terdapat nilai-nilai religius-magis, sehingga dilaksanakanlah upacara-upacara tertentu sebelum gamelan dibunyikan dalam pagelarannya. Sampai saat ini, pembuatan gamelan masih dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menggunakan teknologi yang sederhana dengan upacara-upacara dan tingkah laku ritual tertentu, sehingga hubungan antara teknologi dan upacara-upacara serta tingkah laku sangat erat1. Dalam penggunaannya, seperti bunyi-bunyian yang dihasilkan, masih tetap sama dari jaman dahulu hingga sekarang.
Hanya pria yang bekerja dalam pembuatan gamelan karena diperlukan kekuatan fisik yang besar, seperti dalam proses menempa dengan campuran tanah dan tembaga yang memiliki berat hingga puluhan kilogram. Selain itu diperlukan pula perilaku khusus dalam proses pembuatan gamelan agar tidak mengalami kegagalan. Perilaku tersebut berupa perilaku yang bersifat rasional dan tidak rasional. Perilaku rasional merupakan segala tindakan yang berhubungan dengan bahan baku, sedangkan perilaku tidak rasional berupa upacara baik sebelum, sesaat, dan sesudah proses pembuatan agar semua roh penghuni alam gaib lainnya memberkati usaha mereka2.
Proses pembuatan gamelan terjadi di dalam dua tempat, yaitu di dalam besalen dan diluar besalen
  1. di dalam besalen
Besalen adalah ruangan khusus yang dapat disebut sebagai dapur dalam proses pembuatan alat-alat gamelan. Besalen digunakan dalam proses penempaan mulai dari bahan baku hingga jadi, sehingga disebut pula sebagai “dapur” karena berisi perlengkapan “memasak”. Bangunan besalen merupakan bangunan tembok atau setengah tembok. Besalen dengan suatu hubungan atap genting yang tingginya sekitar 7-8 meter dan disangga oleh tiang kayu atap tinggi untuk menghindari diri dari api perapen (perapian) karena proses penempaan gamelan gong ageng menggunakan api perapen sangat membara.
Bahan baku yang digunakan adalah timah putih dan tembaga, sedangkan alat yang digunakan adalah perapen, palu, kowi, dan penyingen. Pembuatan di dalam besalen dilakukan oleh pande gamelan. Daerah sekitar perapen, yang merupakan jantung besalen, harus segelap mungkin karena selama gamelan diolah dalam perapen, perhatian pekerja terutama penyukat dan penglamus harus diarahkan sepenuhnya pada warna logam yang sedang dibakar, sehingga gelap untuk warna yang dikehendaki dapat terlihat jelas dan tepat serta tidak terkecoh dengan warna lainnya yang mungkin akan terjadi jika banyak cahaya masuk (terang).
Proses yang terjadi di dalam besalen diawali dengan tembaga dan timah putih yang dimasukkan ke dalam kowi (mangkuk untuk melebur bahan dalam membuat seladren). Kowi sebelumnya dibakar di perapen sampai merah agar tidak pecah selama ± 1 jam.
Proses selanjutnya untuk membuat legokan (cekungan) di bagian tengah adalah Jero. Kemudian dilanjutkan dengan proses ketiga, yaitu nyanduk. Nyanduk merupakan proses pembuatan cendukan (cekungan) yang disesuaikan dengan ukuran yang telah ditentukan. Proses ini disebut sebagai ndodok karena dalam pelaksanaannya dipergunakan alas yang tinggi agar lakar dapat diletakkan dalam posisi berdiri, sehingga dapat di dodog (dipukul dari dalam).
Dalam proses keempat adalah ngundurke, yaitu memukul dengan cara mundur untuk membuat sudut dengan menggunakan palu undur-unduran. Proses ini bertujuan untuk membuat bau (bahu) dan dilanjutkan dengan penghalusan dengan cara mendo, yaitu meratakan yang dilakukan dari bagian dalam. Sampai proses ini selesai, bau belum mencapai ukuran yang sesuai dengan yang telah ditentukan, sehingga harus dilakukan perubahan untuk memperbesar bau sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Biasanya ukuran bau yang tepat baru dapat dicapai setelah dilakukan pengulangan proses ngundurke dan proses jero sampai sekitar empat kali. Pada saat ini lakar sudah menunjukkan bentuk sebagai gamelan (kempul) walaupun belum sempurna.
Kemudian proses kelima adalah lakaran. Lakaran adalah lakar yang dibuat dengan jalan menempa bagian pinggir untuk membentuk lambe agar nanti dapat berbentuk bundar dan halus. Langkah awal adalah proses jleber, yaitu proses menempa permukaan lakar agar menjadi lebar. Kemudian dilakukanlah empat macam pukulan palu, pertama adalah palu ngarep, yaitu pukulan pertama paling depan yang mendahului dan memberi petunjuk pada penalu berikutnya tempat mana yang seharusnya dipalu. Kedua adalah palu nengah yang dilakukan segera setelah palu ngarep memalu. Ketiga, palu ngapit, yaitu memalu bagian paluan pemalu nengah yang kosong atau mengalami kesalahan pemaluan. Keempat, palu nepong, yang berfungsi meratakan paluan sebelumnya.
Jangka kemudian digunakan untuk melihat apakah ukuran gamelan masih tetap tepat atau tidak, jika tidak berubah, maka selanjutnya dilakukan mendo untuk lebih menghaluskan gamelan dan dilanjutkan dengan proses mamasu sebagai tahap terakhir dari proses penempaan.
Proses terakhir yang dilakukan di dalam besalen adalah mengelem, yaitu memasukkan gamelan ke dalam planden (hak yang dibuat ke dalam lantai dilapisi batu bata yang disemen di bagian pinggirnya sehingga menyerupai sumur) langsung dari perapen. Plandan berisi air untuk mendinginkan gamelan yang telah selesai diproses di besalen
  1. di luar besalen
Proses pertama kali yang dilakukan di luar besalen adalah proses mengikir cemengan yang dilakukan dengan menggunakan kikir kasar atau pematar3. Cemengan adalah gamelan yang belum diberi nada. Pematar (pekerja) kemudian melakukan proses ngalus ( menghaluskan) dengan menggunakan kikir lebut atau kikir alus. Kemudian proses dilanjutkan dengan nesik, yaitu penghalusan dengan alat tesik. Pada saat ini proses nglaras (pemberian nada) telah dimulai karena pemberian nada dilakukan bersamaan dengan dilakukannya proses-proses tersebut.
Tahap selanjutnya yang dilakukan oleh penggosok (pekerja untuk menghaluskan gamelan dengan digosok) adalah ngamril dengan menggunkaan amplas. Selanjutnya dilakukanlah proses gebeg, yaitu menghaluskan gamelan dengan neggosoknya dengan menggunkaan batu-bata yang telah ditumbuk halus, serta sebagai proses terakhir adalah mbraso, yaitu membuat gamelan berkilan dengan menggunakan braso.
Dalam pembuatan gamelan, proses terpenting adalah proses nglaras, yaitu proses pemberian nada. Diperlukan kepekaan telinga yang tinggi dari pelaras (pekerja yang melaras) agar nada yang dihasilkan tepat. Melaras dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan pokoknya sebagai pematar, karena tingkat kesukaran yang tinggi, untuk melaras gamelan besar seperti gong ageng biasanya diperlukan ahli nglaras gong ageng. Proses melaras ini penting dalam menentukan mutu dan ciri khas larasnya (suaranya).
Tiap bentuk gamelan, seperti pancon atau wilahan, memerlukan cara melaras yang berbeda pula. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah pada saat pembesaran atau pengecilan nada. Dalam mengetahui ketepatan nada tersebut, maka dilakukan dengan cara memukul gamelan tersebut atau menyentuhkan gamelan pada lututnya (khusus untuk gamelan wilahan)
Pembesaran nada untuk gamelan wilahan dilakukan dengan cara mengikir bagian lemahan sedikit demi sedikit sampai memperoleh nada yang diperlukan. Pengecilan nada gamelan wilahan ini dilakukan dengan mengikir bagian buntar sedikit demi sedikit hingga mencapai nada yang pas pula.
Pada gamelan pancon dan bonang, pembesaran nadanya dilakukan dengan memukul bagian rai sedikit demi sedikit dari luar, atau mengikir pada bagian rai, dudu, dan pok pencu (pencu bagian bawah). Pengecilan nada dilakukan dengan cara menjuluk (memukul dari arah dalam) sedikit demi sedikit pada bagian rai. Namun, dalam pelarasan bonang berukuran lebih besar, kempul dan suwu’an, memerlukan cara lain, yaitu menggunakan lempung.
Lempung digunakan untuk mencari nada yang tepat dengan cara meletakkan lempung di bagian dalam pencu dan kemudian gamelan dipukul untuk didengar suaranya. Usaha untuk mempertahankan suara tersebut dilakukan dengan cara mengambil lempung sedikit demi sedikit yang diikuti dengan memukul bagian dekat pencu dari arah luar atau dari arah dalam (didedeg) pada bagian pinggir rai. Lempung dapat juga diletakkan di bagian pinggir rai dan untuk mengambilnya dilakukan pula sedikt demi sedikit, dimana bagian yang harus di pukul adalah dekat lempung diletakkan sehingga pukulan dilakukan dari luar tetapi pukulan dapat pula dilakukan dari dalam yaitu pada bagian dekat pancu.
Gamelan yang telah selesai diproses diluar besalen berarti telah menjadi gamelan yang sempurna, tetapi sebelum diserahkan pada pembeli, gamelan tersebut harus ditempatkan dan diatur terlebih dahulu diatas rancakan (tempat gamelan) yang biasanya telah dipesan oleh pemilik besalen dari pembuatnya.
  1. Ukuran gamelan jenis pencon
Jenis Pencon Diameter Bau Berat
Bonang Penerus 17,5 cm 7 cm 2 kg
Bonang Barung 21 cm 9 cm 3 kg
Kenong 34 cm 13,5 cm 10 kg
Kempul 47 cm 13,5 cm 9 kg
Gong suwu’an 80 cm 25 cm 38 kg
Gong Ageng 100 cm 35 cm 80 kg
 
Sistem religi dalam pembuatan gamelan
 
Menurut kepercayaan di lingkungan pembuat gamelan, pembuatan gamelan sebenarnya tidak hanya dilaksanakan di alam nyata (duniawi) saja, melainkan juga dilaksanakan di alam yang tidak terlihat (gaib) sehingga keberhasilan dalam pembuatan gamelan tersebut hanya bisa tercapai apabila pelaksanaan pembuatan gamelan yang dilakukan di dua alam tersebut berjalan dengan baik dan serasi4.
Pemilik besalen merupakan orang utama bagi terciptanya keserasian antara kedua alam tersebut. Pada malam hari pemilik besalen tidak boleh tidur dan harus bersasmita dengan harakat tidak merem-melek yang dibantu oleh istrinya. Selain itu juga diadakan selamatan dengan sesaji bagi penghuni alam gaib.
Dalam selamatan terdapat sesajen berupa nasi uduk dengan ingkung ayam, kedele goreng, bawang merah, garam dan cabai, kerupuk, sambal goreng, jenang merah putih, jenang katul dengan kelapa dan gula, kemudian sekul asahan sebanyak dua buah yang terdiri atas nasi putih, mi goreng, sambal goreng, tempe, tahu, asmaradhana (kacang yang dicampur dengan kelapa dan gula yang diolah), cenggereng, lento singkong, ikan goreng, kerupuk, jeroan ayam, juga sekul golong yang berupa nasi putih yang berbentuk bulat padat dilengkapi dengan ayam panggang komplit, serta jajanan pasar, bekokok (ketan berbentuk boneka) sebanyak dua buah yaitu laki-laki dan perempuan, dan ciu (sejenis minuman keras) sebagai pelengkap bekokok.
Setelah makanan tersebut dikondangke (dibacakan doa secara bersama oleh peserta selamatan), maka kedua bekokok kemudian dikubur di dekat plandang dan kemudian disiram dengan ciu. Maksud dibuatnya bekokok adalah untuk mewujudkan makhluk-makhluk yang tidak terlihat agar “mereka” mau menjaga keselamatan para pekerja
Selamatan yang diadakan setelah pembuatan gamelan dinamakan riyayani. Selamatan ini bertujuan sebagai tanda terima kasih dan pemberitahuan kepada “penghuni” alam gaib bahwa pembuatan gamelan telah usai.









Wayang Kulit



Wayang Kulit Sebagai Mahakarya Kesinian Jawa

WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.


Dasar-dasar Pewayangan

Wayang kulit diciptakan Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri sekitar abad ke-10. Raja berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya yang digoreskan di atas daun lontar. Bentuknya ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu.

 
Figur tokoh pertama yang diciptakan adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata adalah perwujudan dewa Wisnu. Secara umum wayang memang mengambil cerita dari kisah Mahabarata dan Ramayana, tetapi tidak selalu terbatas pada kedua cerita tadi saja. Satu hal yang pasti, untuk memahami cerita wayang atau lakonnya, penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh pewayangan. Beberapa tokoh pewayangan antara lain Kresna, Dewi Sinta, Dewi Arimbi, Srikandi, Surtikanti, Punta Dewa, Bima, Arjuna, Werkudoro, Brotoseno, Sadewa, Nakula, dll.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang. Dalam pergelarannya, wayang kulit diiringi oleh musik gamelan dengan nyanyian para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik layar yang disebut kelir dan terbuat dari kain putih. Bagian belakang kelir disorotkan lampu listrik atau lampu minyak sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.


Persiapan Pembuatan Wayang Kulit

Wayang kulit umunya terbuat dari kulit kerbau. Kenapa kulit kerbau? Karena tidak mengandung banyak minyak. Kulit sapi contohnya, memiliki kandungan minyak tinggi sehingga proses pengeringannya bisa sampai berminggu-minggu. Kulit kerbau sudah bisa langsung kering setelah dijemur 4 sampai 5 hari.
Kulit kerbau yang baru dikelupas dijemur di bawah sinar matahari dengan posisi dibentangkan. Jika cuaca sedang mendung, seluruh permukaan kulit kerbau ditaburi garam supaya tidak cepat busuk. Setelah benar-benar kering, kulit kembali direndam selama satu malam, kemudian dijemur lagi. Baru setelah kering untuk yang kedua kalinya bulu-bulu yang melekat pada kulit dikerok dengan pisau.
Peralatan yang digunakan untuk membuat wayang kulit adalah besi yang ujungnya runcing. Biasanya besi ini diambil dari jari-jari sepeda motor. Pada dasarnya besi dari baja ini digunakan untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang. Coba kamu perhatikan wayang kulit, ada banyak ukiran yang dibuat hingga benar-benar berlubang.


Proses Pembuatannya
 


Pertama kali yang dilakukan adalah menjiplak gambar atau pola yang sudah ada. Setelah itu digunting sesuai bentuknya. Pola yang sudah jadi terdiri dari beberapa bagian. Bagian tangan adalah yang dipasang pertama. Pada tangan ada dua sambungan: lengan bagian atas dan siku. Cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Untuk menggerakkan bagian lengan digunakan tangkai berwarna kehitaman yang juga terbuat dari tanduk kerbau.
Kalau kamu perhatikan, ada beberapa wayang kulit yang warnanya keemasan. Warna emas itu didapat dari prada, kertas warna emas yang ditempel. Cara lain adalah dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada hasilnya jauh lebih baik karena warnanya lebih tahan lebih lama.


 


Thursday, January 5, 2012

PEMBUATAN BATIK

Proses Pembuatan Batik 

 1. Pemotongan bahan baku (mori) sesuai dengan kebutuhan.

2. Mengetel : menghilangkan kanji dari mori dengan cara membasahi mori tersebut dengan larutan : minyak kacang, soda abu, tipol dan air secukupnya. Lalu mori diuleni setelah rata dijemur sampai kering lalu diuleni lagi dan dijemur kembali. Proses ini diulang-ulang sampai tiga minggu lamanya lalu di cuci sampai bersih. Proses ini agar zat warna bisa meresap ke dalam serat kain dengan sempurna.
3. Nglengreng : Menggambar langsung pada kain.
4. Isen-isen : memberi variasi pada ornamen (motif) yang telah di lengreng.
5. Nembok : menutup (ngeblok) bagian dasar kain yang tidak perlu diwarnai.
6. Ngobat : Mewarnai batik yang sudah ditembok dengan cara dicelupkan pada larutan zat warna.
7. Nglorod : Menghilangkan lilin dengan cara direbus dalam air mendidih (finishing).
8. Pencucian : setelah lilin lepas dari kain, lalu dicuci sampai bersih dan kemudian dijemur.


About Canting : Macam-macam Canting



a. Menurut fungsinya
- Canting Reng-rengan
Canting reng-rengan dipergunakan untuk membatik Reng-rengan. Reng-rengan (ngengrengan) ialah batikan pertama kali sesuai dengan pola sebelum dikerjakan lebih lanjut. Orang membatik reng-rengan disebut ngengreng. Pola atau peta ialah batikan yang dipergunakan sebagai contoh model. Reng-rengan dapat diartikan kerangka. Biasanya canting reng-rengan dipergunakan khusus untuk membuat kerangka pola tersebut, sedangkan isen atau isi bidang dibatik dengan mempergunakan canting isen sesuai dengan isi bidang yang diinginkan. Batikan hasil mencontoh pola batik kerangka ataupun bersama isi disebut Polan. Canting reng-rengan bercucuk sedang dan tunggal.
-.Canting Isen
Canting Isen ialah canting untuk membatik isi bidang, atau untuk mengisi
polan. Canting isen bercucuk kecil baik tunggal maupun rangkap.
b. Menurut besar kecil cucuk
Canting dapat dibedakan :
- Canting carat (cucuk) kecil.
- Canting carat (cucuk) sedang.
- Canting carat (cucuk) besar.
c. Menurut banyaknya carat (cucuk)
Canting dapat dibedakan :
- Canting cecekan.
Canting cecekan bercucuk satu (tunggal), kecil, dipergunakan untuk membuat titik- titik kecil (Jawa : cecek). Orang membuat titik-titik dengan canting cecekan disebut “nyeceki”. Selain untuk membuat titik-titik kecil sebagai pengisi bidang, canting cecekan dipergunakan juga untuk membuat garis-garis kecil.
- Canting loron.
Loron berasal dari kata loro yang berarti dua. Canting ini bercucuk dua,berjajar atas dan bawah, dipergunakan untuk membuat garis rangkap.
- Canting telon
Telon dari kata telu yang berarti tiga. Canting ini bercucuk tiga dengan susunan bentuk segi tiga. Kalau canting telon dipergunakan untuk membatik, maka akan terlihat bekas segi tiga yang dibentuk oleh tiga buah titik, sebagai pengisi.
- Canting prapatan
Prapatan dari kata papat yang berarti empat. Maka canting ini bercucuk empat, dipergunakan untuk membuat empat buah titik yang membentuk bujursangkar sebagai pengisi bidang.
- Canting liman
Liman dari kata lima. Canting ini bercucuk lima untuk membuat bujursangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik ditengahnya.
-. Canting byok
Canting byok ialah canting yang bercucuk tujuh buah atau lebih dipergunakan untuk membentuk lingkaran kecil yang terdiri dari titik-titik, ; sebuah titik atau lebih, sesuai dengan banyaknya cucuk, atau besar kecilnya lingkaran. Canting byok biasanya bercucuk ganjil.
- Canting renteng atau galaran
Galaran berasal dari kata galar, suatu alat tempat tidur terbuat dari bambu yang dicacah membujur. Renteng adalah rangkaian sesuatu yang berjejer ; cara merangkai dengan sistem tusuk. Canting galaran atau renteng selalu bercucuk genap ; empat buah cucuk atau lebih : biasanya paling banyak enam buah, tersusun dari bawah ke atas.


Alat dan Bahan Yang Dibutuhkan Untuk Membatik 

a. sehelai kain putih
pada awal kemunculannya, kain yang digunakan sebagai bahan batik adalah kain hasil tenunan sendiri. Kain putih import baru dikenal sekitar abad ke-19. sekarang ini anda dapat dengan mudah mendapatkan kain putih dengan harga terjangkau. Jenis kain yang dapat digunakan pun beraneka ragam, dari jenis kain mori sampai jenis sutera. Ukuran pun tidak harus lebar, cukup dengan ukuran kecil.
b. Canting
Canting berfungsi semacam pena, yang diisi lilin malam cair sebagai tintanya. Bentuk canting beraneka ragam, dari yan berujun satu hingga beberapa ujung. Canting yang memiliki beberapa ujung berfungsi untuk membuat titik dalam sekali sentuhan. Sedangkan canting yang berujung satu berfungsi untuk membuat garis, lekukan dan sebagainya. Canting terdiri dari tiga bagian. Pegangan canting terbuat dari bamboo. Terdapat mangkuk sebagai tempat lilin malam, serta ujung yang berlubangsebagai ujung pena tempat keluarnya lilin malam.
c. lilin malam dan pemanas
sebelum digunakan, lillin malam harus dicairkan terlebih dahulu dengan cara dipanaskan di atas kompor atau pemanas lain. Lilin malam dalam proses pembuatan batik tulis berfungsi untuk menahan warna agar tidak masuk ke dalam serat kain di bagian yang tidak dikehendaki. Sedangkan bagian yang akan diwarnai dibiarkan tidak ditutupi lilin.
d. pewarna batik
pewarna batik yang digunakan setiap daerah berbeda-beda. Pewarna tersebut berasal dari bahan-bahan yang terdapat di daerah tersebut. Di Kebumen misalnya,pewarna batik yang digunakan adalah pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning. Di Tegal digunakan pace atau mengkudu, nila, dan soga kayu.


Filosofi Batik Secara Umum  

Dalam proses pembuatannya, seni batik terutama batik tulis melambangkan kesabaran pembuatnya. Setiap hiasan dibuat dengan teliti dan melalui proses yang panjang. Kesempurnaan motif tersebut menyiratkan ketenangan pembuatnya.
Corak batik tertentu dipercaya memiliki kekuatan gaib dan hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu. Misalnya, motif parang yang melambangkan kekuatan dan kekuasaan, hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut.
Selain proses pembuatan batik yang sarat dengan makna filosofis, corak batik merupakan simbol-simbol penuh makna yang memperlihatkan cara berfikir masyarakat pembuatnya. Berikut ini adalah beberapa motif batik beserta filosofinya.
1. Kawung
Motif ini berbentuk teratai yang sedang merekah. Motif melambangkan kesucian dan umur panjang.
2. Parang
Motif berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria.
3. Sawat
Motif berbentuk sayap, hanya dikenakan oleh raja dan putra raja.
Motif batik diciptakan tidak berdasarkan pertimbangan nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk banyak simbol, misalnya sebagai berikut:
1. Ragam Hias Slobong
Memiliki arti lancar dan longgar. Motif ini digunakan untuk melayat dan bermakna harapan agar arwah orang yang meninggal dunia dapat dengan lancar menghadap kepada Tuhan dan diterima di sisi-Nya.
2. Ragam Hias Sida Mukti
Berarti “jadi bahagia”. Motif ini dikenakan oleh pengantin pria maupun wanita, dengan harapan keduanya akan memperoleh kebahagiaan selama hidupnya.


Motif Batik Secara Umum 




Batik terdiri dari berbagai motif. Namun secara umum, motif batik terdiri dari dua jenis, yaitu motif geometris dan nongeometris. Motif geometris adalah motif berbentuk garis-garis. Termasuk ke dalam motif ini adalah batik kawung, parang, dan panji. Batik geometris melambangkan birokrasi pada pemerintahan, dari raja sampai dengan rakyat, atau “manunggaling kawula gusti”. Sedangkan motif nongeometris contohnya adalah batik semen, yaitu batik yang bergambar binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya. Batik semen melambangkan sesuatu yang tumbuh. Mereka yang mengenakan batik ini mempunyai harapan semua kebutuhan hidupnya akan tercukupi.
Selain itu, motif batik juga dibedakan dalam figurative, semi figurative, dan nonfigurative. Bahkan motif batik juga dibedakan berdasarkan nama pembuat motifnya.
Sedangkan berdasarkan namanya, terdapat sembilan kelompok batik yaitu sebagai berikut.
1. Lereng
2. Semen
3. Parang
4. Truntum
5. Kawung
6. Gringsing
7. Ceplok
8. Nitik
9. Pinggiran
Batik juga dibedakan berdasarkan warna, yaitu:
1. Bambangan (merah)
2. Bangjo (merah-hijau)
3. Kelengan (ungu)